Senin, 08 Oktober 2012

BUDAYA "SIRI'-PESSE" BUGIS MAKASSAR

Setiap kelompok masyarakat memiliki kebudayaan sendiri. Kebudayaan dapat menjadi ciri khas yang membedakan antara satu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat yang lainnya. Perbedaan kelompok tersebut dapat pula berdasarkan etnik, sehingga di dalam kebudayaan itulah akan terlihat pola tingkah laku dari kelompok etnik masyarakat tersebut.

Di dalam kebudayaan akan terkandung sistem nilai. Sistem nilai budaya berkaitan dengan konsepsi-konsepsi, gagasan-gagasan, ide-ide yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat mengenai apa yang dianggap bernilai, berharga serta penting dalam kehidpan mereka. Sistem nilai budaya dimaksud lazim berfungsi sebagai pedoman tertinggi, yang memberi arah dan orientasi bagi kehidupan para warga masyarakat.

Sistem nilai budaya mengandung konsepsi-konsepsi, gagasan-gagasan, ide-ide yang paling dalam dan sistem budaya masyarakat, karena konsepsi-konsepsi, gagasan-gagasan, ide-ide tersebut merupakan kandungan nilai-nilai yang paling dalam dipelajari, serta lebih dahulu diinternalisasi para warga dalam kehidpan mereka. Sistem nilai budaya menjiwai seluruh kebudayaan dan kehidupan suatu masyarakat. 

Di antara nilai-nilai yang terdapat dalam kebudayaan suatu etnik masyarakat, akan terdapat nilai-nilai utama. Secara deskriptif nilai-nilai utama dapat didirikan atas dasar (1) sifatnya, sebagai (a) preferensi, dan (b) seleksi; (2) kandungannya yang bersifat (a) moral, dan (b) sakral; (3) fungsinya sebagai (a) milik bersama dan (b) pembimbing; (4) pelaksanannya (a) diungkapkan secara verbal atau non-verbal, dan (b) terpelihara kesinambungan dan konsistensinya; (5) keluasaannya, (a) umum, (ba) khusus, dan (c) pilihan; dan (6) sanksinya, (a) penghargaan, dan (b) hukuman.

Masyarakat Bugis-Makassar mengenal  sistem  nilai  utama kebudayaan, yang disebut dengan siri'. Secara etimologis, kata siri’ berasal dari bahasa Bugis dan Makassar yang berarti malu atau rasa malu. 

Siri’ sebagai nilai kebudayaan masyarakat Bugis-Makassar mengandung lima prinsip laku utama dalam kehidupan rakyat Bugis-Makasar atau lima akkatenningeng. Kelima prinsip tersebut disebut lima passaleng pada lontara sastra paseng, terdiri atas :
1.     Adat tongeng (kata-kata yang benar), maksudnya agar manusia berpegang pada ade' tongeng, melakukan perbuatan sesuai apa yang diucapkan.

2.     Lempuk (lurus, jujur) utamanya yang berkaitan dengan kejujuran terhadap harta.
3.     Getteng (teguh pada keyakinan yang benar), yakni manakala suatu kebenaran telah dianut maka manusia harus teguh pada keyakinannya dan tidak akan goyah.
4.     Sipakatau (saling memanusiakan), maksudnya saling menghargai sesama manusia.
5.    Mappesona ri dewata seuae (berserah diri pada dewata yang tunggal), maksudnya berserah diri pada Tuhan Yang Maha Esa. 

Siri’ berkaitan erat dengan hampir semua perbuatan luhur yang dipertuahkan dalam lontara artinya sesuatu perbuatan luhur dipandang hanya terdapat pada pribadi yang memiliki serta memelihara siri’ di dalam dirinya. Baginya, orang yang di dalam dirinya memelihara siri’ adalah mereka yang berpegang pada lima (akkateningeng). Tanpa itu, seseorang dianggap tidak memelihara siri’ di dalam dirinya.

Dalam kehidupan manusia Bugis-Makasar, siri’ merupakan unsur yang prinsipal dalam diri mereka. Tidak ada satu nilai pun yang paling berharga untuk dibela dan dipertahankan di muka bumi ini selain daripada siri’. Bagi manusia Bugis-Makasar, siri’ adalah jiwa mereka, harga diri mereka dan martabat mereka. Untuk menegakkan dan membela siri’ yang dianggap tercemar atau dicemarkan oleh orang lain, manusia Bugis-Makasar akan bersedia mengorbankan apa saja, termasuk jiwanya yang paling berharga demi tegaknya siri' dalam kehidupan mereka. 

Terdapat dua nilai yang dominan terkandung datam konsep siri’ yaitu pertama nilai malu dan kedua nilai harga diri (martabat). Manakala orang yang berbicara siri'; maka kedua nilai budaya itu selalu ditampilkan.

Nilai yang pertama yaitu malu dalam sistem budaya siri’ mengandung ungkapan psikis yang dilandasi perasaan malu yang dalam guna berbuat sesuatu hal yang tercela dilarang oleh kaidah adat. Nilai malu dalam siri berfungsi terutama sebagai upaya pengekangan bagi seseorang untuk melakukan perbuatan yang tercela serta dilarang oleh kaidah adat. Nilai malu bukan hanya sekedar mencakupi upaya pengekangan seseorang terhadap perbuatan yang dipandang melanggar kaidah (hukum) adat, juga terhadap perbuatan melanggar kaidah kesopanan, dapat menimbulkan kompleks rasa malu bagi pelakunya. Kompleks malu yang terlalu mencekam ternyata dapat merenggut nyawa individu (pribadi) yang bersangkutan, apalagi jika trauma batiniah dimaksud menyentuh esensi nilai budaya siri’.

Nilai kedua yang terkandung dalam konsepsi siri’ yaitu nilai harga diri yang berarti kehormatan atau disebut pula martabat.  Nilai harga diri (martabat) merupakan pranata pertahanan psikis terhadap perbuatan tercela serta dilarang oleh  kaidah adat  (‘ade’). Nilai harga diri (martabat) menjadikan individu (pribadi) tidak mau melakukan perbuatan yang dipandang tercela serta dilarang oleh kaidah hukum (‘ade’) karena hal tersebut berkaitan dengan harkat kehormatan dirinya sebagai individu (pribadi) dan sebagai anggota masyarakat.

Manakala ia melakukan perbuatan tercela serta dilarang oleh kaidah adat (‘ade’) maka individu (pribadi) dimaksud dipandang tidak memiliki harga din (martabat). Seseorang yang tidak memiliki harga diri (martabat) dipandang pula sebagai orang yang kehilangan rasa malu. Ketiadaan nilai malu serta nilai harga diri (martabat) dalam diri sesesorang menjadikan individu (pribadi) yang bersangkutan sebagai orang yang tidak memiliki harkat siri’. Dalam masyarkaat Bugis-Makassar, seseorang yang tidak memiliki harkat siri’ tidak lagi dipandang sebagai tau (manusia) tetapi olo’kolo marrupa  tau (binatang berwujud manusia). Ia kehilangan harta kehormatan sebagai manusia individu (pribadi) dan sebagai anggota masyarakat
Padanan konsep siri’ adalah konsep pesse / pacce. Berbicara tentang siri’ bagi orang Bugis-Makasar tidak dapat melepaskan diri dari berbicara tentang pesse / pacce. Baginya pesse / pacce merupakan sesuatu yang tidak terpisahkan dari siri’. Pesse / pacee inheren dalam siri’, sehingga dalam bahasa Bugis-Makasar terdapat suatu ungkapan, siri’na pesse/siri’na pacce (siri dengan pesse/ pacce).

Secara harfiah kata pesse’ bermakna pedih atau perih, yang dirasakan meresap dalam kalbu seseorang, karena melihat penderitaan orang lain. Pesse’ berfungsi sebagai pemersatu, penggalang solidaritas, pember samaam  serta pemuliaan    humanitas    (‘sipakatau’). Dikemukaan, seseorang pendatang yang tidak dikenal, yang menderita kelaparan atau terancam bahaya musuh lalu meminta uluran tangan niscaya diterima serta diperlakukan sama dengan sanak keluarga sendiri, karena rela berbuat apapun guna melindungi serta membela orang yang terancam bencana itu, sekalipun nyawa dipertaruhkan. Dalam pada itu suku Bugis-Makasar tidak akan mudah membunuh orang yang melarikan diri serta memohon ampun. Orang sedemikian itu perlu dikasihani sebab penakut. 

Konsep pesse, berfungsi memotivasi solidaritas sosial dalam penegakan harkat siri’ orang lain. Cakupan pengertian orang lain di sini meliputi semua orang di luar diri orang yang bersangkutan. Tepatnya siapa pun yang menjadikan dirinya larut oleh endapan perasaan pesse. Penyerangan siri’ yang diderita orang  lain dipandang sebagai penyerangan terhadap harkat siri’nya sendiri. Perasaan pesse’ di kala melihat orang lain menderita karena dipermalukan (‘ripakasiri’) menjadikan konsep pese selalu tampil berpadanan dengan konsep diri. 

Bagi orang-orang Bugis-Makasar, tanpa harkat siri’, manusia dipandang sema dengan binatang, tetapi manusia tanpa endapan pesse’ akan menjadikan dirinya berada di bawah derajat binatang, karena walau binatang tidak memiliki siri’ ia memiliki pesse’. Apabila anak binatang diganggu maka sang induk segera melindungi serta membela anaknya.
Dalam suatu persekutuan hidup, seperti halnya desa, wanua ataupun tana, niscaya terdapat pemimpin diri persekutuan hidup itu. Setiap pemimpin, menurut jenjangnya masing-masing, menjadi orang pertama tempat siri' itu harus dipelihara, dikembangkan dan dibela. Setiap anggota persekutuan yang dipimpin merasakan diri bersatu dengan pemimpin karena siri’ yang dimiliki bersama. Antara pemimpin dengan yang dipimpin terkait oleh satu kesadaran martabat diri yang menimbulkan sikap pesse’, yang dapat disebut solidaritas yang kuat. 

Pesse merupakan panggilan (obbi) hati nurani untuk menyatakan dengan sikap kesetiakawanan (solidaritas) sosial terhadap penegakan harkat siri' bersama. Pesse' melarutkan setiap pribadi pendukung siri’ guna kepentingan bersama. Pesse mendorong dalam kenyataannya perbuatan tolong-menolong, adanya pembalasan dendam, adanya tuntutan, pembelaan serta segala kenyataan yang mirip pada solidarias yang mendapatkan hidupnya dari konsep siri.

Sikap pesee’ yang dinyatakan rakyat  terhadap seorang pemimpin selaku orang pertama tempat tumpuan siri' mereka, adakalanya mengiringi kepergian sang pemimpin hingga akhir perjalanan hidup mereka. 

Siri’ memiliki hubungan yang sangat erat dengan adat, yang berfungsi sebagia penggerak terhadap pelaksanaan adat. Adat yang digerakkan atau dimotori oleh siri' tidaklah dapat hidup, berfungsi dan berkembang di kalangan pendukung-pendukungnya apabila adat yang dimotori oleh siri’ itu tidak mendapatkan dukungan moral atau lebih tegasnya satu tanggung jawab moral dari para pendukungnya. Tanggung jawab moral merupakan manifestasi secara langsung yang mencerminkan apakah eksistensi dari adat itu masih mempunyai arti bagi kehidupan manusia.

Untuk itu patutlah kita perhatikan ungkapan di bawah ini yang menyatakan dengan tegas hubungan adat dengan siri’. Utettong ri-adene najagainami siri’ku: artinya saya taat kepada adat, karena dijaganya siri'ku. Perhatikan ungkapan berikut: 

Siri’ emmi ri-onroang ri-lino
Uttetong ri-ada’e
Najagainami siri’ta
Naia siri’e sunge naranreng
Nyawa na kira-kira

Artinya:

Hanya untuk siri kita hidup di dunia
Aku setia kepada ade
Karena dijaganya siri’ kita
Adapun siri' jiwa imbalannya
Nyawa perkirannya

Eksistensi adat sangat bergantung pada dilaksanakan atau tidaknya siri’. Kedudukan siri’ bagaikan benteng bagi tegaknya adat. Adat bukan hanya sekadar kebiasaan, akan tetapi adat merupakan syarat-syarat bagi kehidupan manusia atau dapat dikatakan sebagai norma hukum yang harus ditaati oleh pendukungnya. Dengan demikian siri’ memiliki fungsi tanggung jawab moral terhadap pelaksanaan adat
.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar